Definisi Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.
Definisi birokrasi telah tercantum dalam kamus awal secara
sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata tersebut pada tahun
1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf biro pemerintahan.
Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau
kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya
memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik
bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di
dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh
beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang
berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk
mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka
penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau &
Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi
didefinisikan sebagai :
1.
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah
karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
2.
Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta
menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan
sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi
selanjutnya didefinisikan sebagai
1.
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran
yang tidak dipilih oleh rakyat, da
2.
Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari
birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih
(elected).
Kelebihan
Ideal Sistem birokrasi yang “sehat”.
Kekurangan
keengganan untuk mengakui adanya konflik di antara otorita yang disusun
secara hirarkis dan sulit menghubungkan proses birokratisasi dengan modernisasi
yang berlangsung di negara-negara sedang berkembang.
Konsep-konsep birokrasi secara awam lekat dengan stempel
“tak efektif”, “lambat”, “kaku”, bahkan “menyebalkan.” Stempel-stempel seperti
ini pada satu sisi menemui sejumlah kebenarannya pada fakta lapangan. Namun,
sebagian lain merupakan stereotipe yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan
keabsahannya.
Pada materi ini, kita akan kembali kepada tema awal maksud
dari gagasan birokrasi. Konsep birokrasi yang dikaji pada materi ini mengikut
pada dua teoretisi yang cukup berpengaruh di bidang ini. Pertama adalah konsep
birokrasi yang disodorkan Max Weber. Kedua adalah konsep birokrasi yang
disodorkan oleh Martin Albrow. Potret Indonesia
Konsep Birokrasi Max Weber on
Bureaucracy
Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada
baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata
“bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh
Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu,
terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan lewat meja atau kantor.
Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada
pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan
secara kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen
atau lembaga kepresidenan.
Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah
secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep
ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi.
Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial.
Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi
yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak
rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan
Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak
mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber
kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah
birokrasi.
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal
typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:
1.
tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang
berkesinambungan;
2.
tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda
sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat
otoritas dan sanksi-sanksi;
3.
jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai
dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
4.
aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik
secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang
terlatih menjadi diperlukan;
5.
anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan
anggota sebagai individu pribadi;
6.
pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7.
administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan
hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern;
dan
8.
sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk,
tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu
staf administrasi birokratik.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah
birokrasi, maka birokrasi tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di
organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi
legal-rasional adalah sebagai berikut:
1.
para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti
hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2.
terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3.
fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4.
para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5.
para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional,
idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui
ujian;
6.
para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi
hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki.
Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu,
pejabat juga dapat diberhentikan;
7.
pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para
pejabat;
8.
suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar
senioritas dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan
(superior);
9.
pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya
maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10. pejabat tunduk pada
sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di
mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat).
Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga
memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk
pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional
artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat
atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada
akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak
lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi
Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam
birokrasi, yang meliputi point-point berikut:
1.
Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan
orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam
birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip
kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
2.
Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian
tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya,
untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan
Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat
membatasi akumulasi kekuasaan.
3.
Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala
pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi,
dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut.
Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat
suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan
diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan
tugas tersebut.
4.
Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat
orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank
Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih
dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang
diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
5.
Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang
pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi,
partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf
birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai
politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan
penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.
Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi
Secanggih apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik.
Demikian pula pandangan Weber akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan
sejumlah kritik para ahli akan pandangan Weber, yang seluruhnya diambil dari
karya Martin Albrow (lihat referensi).
Robert K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure
and Personality”, Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi
Merton, penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan
menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang
dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri.
Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan
kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani
publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat
menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa yang ditekankan
Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat
dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu
bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang
Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam
suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan
organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk
meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan
muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.
Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf
administrasi yang dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki
keahlian profesional dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti
itu, kilah Parsons, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak
mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh
keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi
angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk
memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?
Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas
Weber. Gouldner memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam
analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner
menyimpulkan argumennya pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas
profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang uta: “Pemusatan-Hukuman
(punishment centered) dan Perwakilan (representative). Pada tipe punishment
centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka
anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada
tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai
kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan
meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh
yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.
R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan
kritik Gouldner dalam buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis
dan Stone menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat
melarang impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah
ditentukan, tetapi dalam prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan
tindakan mereka dengan keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan
individu.
Rudolf Smend. Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman.
Ia mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman
tentang administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah
mengemban fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan
etres inanimes. Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial
yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya.
Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh keseluruhan
budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya
membantu menentukan hakikat dari seseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan
hal ini, Smend menambahkan, masuk akal jika orang-oorang sosialis mengeluhkan
“keadilan yang borjuistis.”
Reinhard Bendix. Bendix berpendapat bahwa efisiensi
organisasi tidak dapat dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan
sikap-sikap manusia terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in
American Society, Bendix membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa
campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik yang umum. Semua peraturan
diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus
berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang
dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan
suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara
populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu
percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis
di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut
sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan
legislatif.
Carl Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi
pendapat Weber bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang
tertulis. Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak
lengkap untuk bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus
dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat.
Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan
sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat
Weber, yang membenarkan birokrati untuk menghindari semua tanggung jawab atas
tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan
teknis, ataupun menurut instruksi. Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber
karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber
terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer.
Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola
kooperatisme.
Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of
Bureaucracy, pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi
rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian
atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam
struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan
membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan
membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu
keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya
tentangng keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang
efisien.
R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus
mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap
konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia
menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan
material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang
mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan
W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak patrimonial justru mungkin saja
cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional.
Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan Rusia
lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.
Konsep Birokrasi Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak
menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya,
ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7
cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai
pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di
era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar
mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan
sebagai segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah
menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi
dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam
administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian
dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam
organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada
susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan
organisasi.
Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan
birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai
“organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap
tindakan mereka.”
2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari
vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan
sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas
dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan
dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.
Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang
dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan),
berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan
departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat
memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di
dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri
sendiri.
3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para
administrator yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh
para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur
dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan
para elit pejabat.
4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik
administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai
pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang
mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi,
kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.
5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di
struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian
menjadi bagian penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat.
Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu
disebut sebagai administrasi.
6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar,
formal, dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan
mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.
7. Birokrasi sebagai masyarakat modern
Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu
kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan
oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta
besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan
yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat
tersebut dikatakan modern.
Kesimpulan
§ Pertama. Weber
tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi. Weber hanya
mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa hidupnya.
Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di dalam
menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian birokrasi
sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.
§ Kedua. Weber telah
menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal typhus dari suatu organisasi
yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian diterjemahkan
sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi yang
lega-rasional.
§ Ketiga. Weber juga
telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi sebagai sebuah
organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut kini melekat pada
sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat.
§ Keempat. Weber juga
telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan orang di dalam
birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang mudah-mudahan dapat
mencegah efek negatif kekuasaan orang-orang yang ada di dalam sebuah
birokrasi.
§ Kelima. Konsepsi
Weber tentang birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah ahli. Para ahli
tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi
administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber
berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam
birokrasi. Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan
aturan tersebut sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu
rasional.
§ Keenam.
Martin Albrow, setelah mengkritisi pendapat Weber, membangun 7 konsepsinya
mengenai birokrasi. Konsepsi-konsepsinya tersebut adalah : (1) Birokrasi
sebagai organisasi rasional; (2) Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi; (3)
Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan para pejabat; (4) Birokrasi sebagai
administrasi negara (publik); (5) Birokrasi sebagai administrasi yang
dijalankan pejabat; (6) Birokrasi sebagai suatu organisasi; dan (7) Birokrasi
sebagai masyrakat modern.
-------------------------------------------
Referensi
Hafusi Jonathan
Mavanyisi, The
Nature of Political Control over the Bureaucracy with Reference to the Northern
Province, Thesis Master
Degree on Public Administration, University of South Africa, 2002.
John Toye, Modern Bureaucracy, Research Paper No. 2006/52,
Unived Nations University, May 2006.
Martin Albrow, Birokrasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
Cet.3, 2004)
tags:
pengertian
birokrasi weber definisi birokrasi martin albrow kelemahan birokrasi weber
birokrasi administrasi negara inefesiensi pemerintahan birokrasi